3 Masa Krisis yang Hampir Menghancurkan Sribu

blog sribu

“What is the point of being alive if you don’t at least try to do something that remarkable?” – John Green

3028628-slide-s-4-3028628how-much-that-bad-hire-will-actually-cost-you-infographic

Membuat sebuah produk yang dapat memberikan dampak besar bagi kehidupan manusia adalah cita-cita para founder start-up, tidak terkecuali saya yang memiliki mimpi besar untuk menjadikan Sribu sebagai marketplace desain nomor 1 di Indonesia.

Untuk menjadikan Sribu sebagai penyedia solusi desain nomor 1 di dunia, kami harus selalu work smart untuk melewati berbagai milestone yang sudah kami targetkan sebelumnya. Selama lebih dari 3 tahun ini, kami berhasil melayani lebih dari 2.000 klien dari seluruh dunia.

Namun, seperti yang saya sampaikan di artikel Awal Perjalanan Sribu Mendapatkan 10.000 Klien sebelumnya, merintis sebuah perusahaan start-up adalah sebuah perjalanan panjang yang tak ada hentinya. Banyak hal yang sudah saya lewati bersama tim Sribu, baik hal yang menyenangkan hingga masa krisis yang hampir menghancurkan Sribu yang sudah saya rintis bersama Wenes selama 3 tahun ini. Berikut adalah ketiga masa krisis tersebut:

3028628-slide-s-4-3028628how-much-that-bad-hire-will-actually-cost-you-infographic
Hasil survei mengenai bad hiring dari CareerBuilder

Jika Anda masih ingat dengan perjalanan saya bersama Tim Sribu, pada bulan Februari 2012 Sribu mendapat pendanaan dari East Venture. Begitu mendapat pendanaan, saya pun langsung fokus pada growth, growth dan growth Sribu. Pada saat itu, saya merencanakan untuk menggunakan pendanaan tersebut dengan merekrut lebih banyak karyawan baru agar Sribu bisa bertumbuh lebih cepat.

Di bulan yang sama ketika kami mendapatkan pendanaan, saya merekrut 6-7 orang baru untuk bergabung bersama tim Sribu dan dalam sekejap kami memiliki 16 orang. Saat itu saya sangat bersemangat untuk memajukan Sribu, dan merasa momentumnya sangat tepat. Namun ternyata keterburu-buruan ini berdampak pada hal yang sama sekali kami tidak inginkan, bad hiring effect.

Setelah 6 bulan, saya baru menyadari bahwa tim baru kami kurang cocok dengan culture yang berlaku di Sribu dan juga dikarenakan semakin banyak orang, tim kami semakin gemuk dan jalannya tidak segesit sebelumnya.

Yang membuat semakin parah adalah ada tim baru yang memberikan negatif influence kepada tim lainnya. Tensi dan ketidakpercayaan mulai berimbas dan aura di kantor mulai tidak baik. Vibe yang diberikan sangat negatif, teamwork tidak terbentuk dan growth yang diinginkan juga tidak didapat.

Pada akhirnya saya terpaksa cut hampir setengah dari tim saya dari 16 menjadi 7 orang setelah 6 bulan berjalan sejak massive hiring, dan percaya kepada saya, memperbaiki apa yang sudah dilakukan jauh lebih susah. Sejak saya cut, tim kami butuh hampir 6 bulan untuk recover dari masa krisis ini. Jadi total 1 tahun habis untuk managing people dan bukan fokus ke membesarkan perusahaan.

Setelah kejadian ini saya belajar bahwa:

Tidak semua orang dapat mengikuti culture perusahaan

Menemukan kandidat yang cocok untuk bekerja sama di dalam sebuah perusahaan bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika mengingat bahwa setiap orang memiliki kebiasaan dan sifat yang berbeda-beda.

Maka dari itu, penting bagi setiap founder start-up untuk memperkenalkan culture perusahaan pada tahap awal perekrutan sehingga kita dapat mengetahui secara garis besar apakah kandidat tersebut dapat mengikuti culture atau tidak.

PS: Skill dapat diajarkan namun attitude atau personality tidak dapat diubah. Cari tim member yang cocok dengan culture kamu dan share visi kamu.

Hindari proses hiring yang terburu-buru

Jangan pernah rekrut terburu-buru. Pastikan Anda cek detil setiap prospek karyawan baru yang ingin direkrut, mulai dari personality, teknikal hingga praktikal interview, semuanya harus dilewati. Jangan hanya personality interview saja lalu merasa cocok dan langsung rekrut.

Itu adalah tindakan yang tidak bijaksana (ketahuilah cara merekrut karyawan yang sesuai dengan value yang Anda butuhkan). Pastikan Anda mengambil waktu yang cukup untuk proses seleksi dalam rekrutmen ini dan jangan merasa bahwa Anda akan kehilangan calon karyawan tersebut apabila tidak memberi jawaban yang cepat.

Hindari hiring karyawan yang banyak dalam waktu singkat

Tentu kita semua tahu bahwa proses perkenalan dan adaptasi seseorang kandidat membutuhkan waktu 2-3 bulan. Proses ini tentu harus dilakukan dengan baik sehingga tidak heran jika seorang founder bersama tim HR harus dapat mendampingi mereka dengan memberikan bacaan serta pembahasan mengenai start-up company yang dijalankan.

Dengan banyaknya perhatian yang harus diberikan, tidak heran jika setiap kandidat yang direkrut akan menyita waktu Anda sebagai founder. Maka dari itu melakukan perekrutan dalam jumlah yang banyak dalam periode singkat bukan lah ide yang baik karena Anda memiliki kemungkinan untuk memberikan perhatian yang minim kepada kandidat baru yang masih dalam tahap adaptasi tersebut.

Masa Krisis #2. Pitching to Investor (s)

Pitching to investor(s)
Pitching to investor(s)

Tepat 2 bulan setelah melewati masa krisis #1, kami merasa perlu untuk mulai mencari investor baru agar dapat terus konsisten untuk meningkatkan growth kami. Saya mulai mencari dari menjalin hubungan dengan para investor. 3 dari 5 hari kerja saya habis untuk mempersiapkan dokumen dan material untuk calon-calon investor ini. Investor relation menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari saya saat itu.

Semuanya terlihat positif ketika saya bertemu dengan salah satu investor di Singapura yang tertarik dengan konsep Sribu. Saya begitu bersemangat untuk menjawab semua pertanyaan dan memberikan data-data yang diperlukan. Setelah banyak meeting dan negosiasi, hingga di titik dimana investor ini telah mengeluarkan term sheet (biasanya apabila Anda menerima term sheet, 80% kemungkinan investasi terjadi dan sukses). Tanpa saya sadar bahwa karena saya terlalu sibuk mengurus perihal investor relation ini, performance Sribu tidak tumbuh sesuai target kami. Justru pertumbuhan kami menurun.

Selain karena tidak fokus, performance yang buruk juga berakibat dari masa krisis #1 yang belum tuntas. Ketika saya mempresentasikan performance bulanan kami kepada calon investor, otomatis semua kaget melihat penurunan tersebut dan status investasi tersebut berubah jadi red alert dan keraguan bagi sang investor.

Akhirnya 1 minggu setelah presentasi performance tersebut, calon investor kami mengirimkan email bahwa tidak jadi berinvestasi di Sribu. Secara total saya menghabiskan waktu untuk investor relation tersebut selama hampir 8 bulan dan tanpa hasil. Frustrating. Baca lebih lanjut mengenai pengalaman saya ketika ditolak 30 investor.

Sebenarnya, pitching untuk mendapatkan investor baru bukanlah hal yang salah. Namun, apa yang saya lakukan waktu itu tidak tepat karena saya mengabaikan hal yang lebih penting, yaitu operation Sribu.

Ketika ditolak investor, baru saya kembali mengingat apa hal yang terpenting untuk start-up, namun sayangnya nasi sudah menjadi bubur, dan saya tidak dapat mengembalikan waktu dan uang yang sudah dihabiskan selama 8 bulan tersebut.

Ketika hal tersebut terjadi, runaway kami tinggal 5 bulan lagi, dan apabila tidak dapat break-even atau tidak dapat investor baru maka terpaksa kami harus tutup perusahaan.

PS 1: Penting bagi founder start-up untuk menentukan waktu yang tepat dan hindari kesalahan-kesalahan yang seringkali dilakukan saat melakukan pitching investor baru. Selain itu juga apakah kita memiliki tim yang dapat men-support kita ketika founder fokus melakukan pitching ke investor. Dan yang paling penting, apabila performance perusahaan bagus, investor yang akan mendatangi kita.

PS 2: Fundraising period adalah salah satu masa krisis paling stressful, semakin banyak investor yang kalian handle di saat bersamaan, semakin tidak produktif kalian sebagai founder. Diskusi dengan 2-3 investor saja, agar kalian tetap dapat fokus hal yang lebih penting yaitu operation dan pertumbuhan perusahaan.

Masa Krisis #3. Founder’s Burnout (Almost)

Startup is Stress-ful
Startup is Stress-ful

Setelah melewati 2 masa krisis yang hampir menghancurkan start-up kami, inilah kisah momen #3. Pada pertengahan tahun 2013 setelah melewati masa krisis #2 saya banyak memperhatikan dan menganalisa perkembangan Sribu dengan Operation Manager kami, Pak Yunus dari bulan ke bulan. 3 bulan sejak kami mulai fokus ke operational, setiap bulannya sales kami selalu naik 20% dan ini membuat kami sangat percaya diri dan semakin yakin akan produk kami.

Namun pada bulan ke-4, sales kami turun, meskipun Pak Yunus bersama tim operation tidak ada hentinya untuk terus menghubungi potential client dan juga memberikan pelayanan terbaik hingga melewati jam kantor. Namun, karena sales di bulan-4 ini tidak bagus, kami terpaksa harus menggunakan keuntungan yang didapatkan 3 bulan sebelumnya untuk menutup biaya operasional pada bulan ke-4.

Hal ini terus terjadi selama 9 bulan ke depan. 3 bulan profit, 1 bulan loss dan keuntungan habis, hingga kami merasa seperti lingkaran setan dan dipermainkan dengan produk kami sendiri.

Hal ini membuat kami frustrasi karena berasa sangat susah untuk mendongkrak sales seperti yang kami inginkan padahal kami merasa semuanya sudah berjalan mulus dan lancar sesuai dengan yang kami inginkan dari segi operasional.

Kesan yang diberikan start-up kami saat itu adalah ‘hidup segan, mati pun enggan’. Dari segi pemikiran saya sebagai founder, lebih baik setiap bulan performance loss saja agar lebih mudah bagi saya untuk menutup Sribu. Krisis ini mungkin adalah masa krisis yang paling susah dilewati selama menjadi founder, ini yang banyak orang ibaratkan bahwa founder’s life penuh dengan ketidakpastian.

Saya sharing dengan ayah saya mengenai situasinya, namun beliau memotivasi saya untuk tetap berjuang membangun start-up ini karena baginya, membangun perusahaan perlu kesabaran. Saya ikuti nasihat ayah saya dan terus membangun Sribu.

Persistensi tersebut berbuah hasil ketika di February 2014, kami akhirnya di-investasi oleh Infoteria, perusahaan dari Jepang. Pina-san, founder dari Infoteria juga adalah entrepreneur yang membangun Infoteria dari 0 menjadi public company di Jepang.

Beliau tidak segan membagikan cerita mengenai pengalamannya merintis Infoteria, kesulitan yang dia lewati dan seluk beluknya membangun perusahaan hingga menjadi seperti sekarang ini.

Tentu cerita dari Pak Pina membuka mata saya bahwa ternyata memang saya sudah melakukan hal yang benar, namun masa krisis #3 ini semua terjadi karena market size Sribu yang cenderung kecil.

Pina-san menaruh banyak harapan kepada kami dan ketika memutuskan untuk berinvestasi di Sribu, saya pun menjadi semangat untuk mengembangkan Sribu. Selain membesarkan Sribu, kamu juga setuju untuk membuat produk baru dengan market share yang lebih luas, Sribulancer.

Apa yang Saya Pelajari?

Setelah mengalami ketiga masa krisis mengembangkan Sribu, saya belajar bahwa ada banyak sekali hal yang dapat mempengaruhi sebuah start-up company. Semua hal tidak boleh dianggap sepele atau diabaikan begitu saja karena bisa menjadi awal mula kehancuran sebuah start-up. Inilah hal-hal yang saya pelajari dari beberapa kejadian di atas:

1. Communication and Personality are Essential

Saat ini, kami hanya beranggotakan 20 orang yang terdiri dari 3 tim, yaitu tim operation, product dan marketing dan meng-handle 2 produk, Sribu dan Sribulancer. Dengan tim yang cenderung kecil ini, tentu komunikasi yang terjalin di dalamnya sangatlah intense.

Bayangkan jika ada 1 orang di antara mereka yang memiliki kepribadian yang tidak cocok dengan culture yang kami miliki, produktivitas pasti akan menurun dan terjadi ketidakharmonisan di dalam kantor. Saya yakin tidak ada satu pun founder start-up yang menginginkan hal ini terjadi.

Maka dari itu, saya sangat concern dengan bagaimana kepribadian dari setiap anggota Sribu “(Baca artikel ini untuk mengetahui pentingnya personality dalam membangun dream team).  Apakah mereka mudah bergaul dan ringan tangan?

Apakah mereka mempunyai semangat kerja dan belajar yang tinggi? Apakah mereka terbuka untuk masukkan dan juga nasihat? Dan yang terpenting adalah, apakah mereka memiliki sense of belonging yang tinggi pada perusahaan kami.

Untuk mengetahui hal tersebut, saya bersama Bu Retno (HR Sribu) dan Pak Wenes selalu mengadakan review pada bulan ke-3 masa kerja tim Sribu dan juga menjaga kedekatan antar anggota agar kami bisa saling melakukan evaluasi dengan cara yang lebih casual.

Kami juga memberikan penghargaan seperti promosi kepada anggota Sribu yang memiliki kinerja baik sehingga mereka juga tahu bahwa kami bukan hanya peduli dengan perkembangan perusahaan, tetapi juga perkembangan pribadi mereka.

2. Don’t Set Wrong Objective

Don't set the wrong objective
Don’t set the wrong objective

Sebelum mengembangkan Sribu bersama Wenes, saya adalah seorang professional yang bekerja di salah satu perusahaan swasta besar di Jakarta. Sebagai seorang professional, saya bekerja karena saya ingin mendapatkan uang. Mindset tersebut ternyata masih terbawa sampai saat saya mulai mengembangkan Sribu.

Pada saat itu saya berpikir bahwa memulai sebuah usaha tentu haruslah memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari usaha yang dijalankan. Apalagi dengan banyaknya berita mengenai kesuksesan sebuah start-up company yang mampu menghasilkan banyak uang dari produk/jasa yang ditawarkan. Saya semakin yakin bahwa saya akan dapat menghasilkan banyak uang dengan mengembangkan Sribu.

Namun, ternyata saya salah. Dengan mindset seperti itu start-up company seperti Sribu tidak akan dapat berjalan dan disukai para user. Saya coba mencari tahu sampai pada akhirnya saya mengerti bahwa semangat start-up company berakar dari semangat mencari solusi dari permasalahan yang ada dan mengembangkan produk yang dapat menawarkan solusi dan menjadikannya diminati dan dipakai oleh banyak orang. Bayangkan apabila produk yang kamu buat dapat dipakai dan membantu 1.000, 10.000 bahkan 1 juta orang. You have changed the world.

3. Money is Secondary

Quotation-Shri-Radhe-Maa-money-meditation-Meetville-Quotes-74576
Money is not everything

Musuh utama dari sebuah start-up company adalah mengutamakan uang. Uang memang penting, tetapi bukan yang terpenting. Apabila kita membuat start-up dengan tujuan mendapatkan funding atau diinvestasi maka itu adalah tujuan yang salah.

Tujuan yang benar adalah untuk membuat produk yang menjadi solusi bagi banyak orang dan dari situ apabila ada investor yang tertarik dan kamu butuh dana dari mereka untuk mengembangkan produk ke level selanjutnya, maka baru kamu terima investasi tersebut.

Growth is the key to startup. Saya membaca berbagai artikel, tips dan juga ebook yang berhubungan dengan apa yang saat itu ingin saya capai agar Sribu bisa menjadi produk yang user friendly dan disukai banyak orang. Dengan berfokus pada product growth, kemungkinan untuk mendapatkan investasi menjadi semakin tinggi, jumlah user semakin meningkat dan sales pun juga ikut melambung.

Apakah Anda pernah melewati masa-masa krisis seperti yang pernah kami alami?

“It’s failure that gives you the proper perspective on success.” – Ellen DeGeneres

Ryan Gondokusumo
Ryan adalah CEO dan Founder dari Sribu.com. 11 tahun pengalaman di management, product development, strategic dan digital marketing