Sebar “Virus”, Demi Tren

Setiap ada waktu kosong, saya selalu menghabiskan waktu untuk scrolling media sosial mulai dari Instagram, Twitter sampai Youtube.

Tanpa sadar, kebiasaan ini justru menyita waktu saya karena banyak konten-konten yang menarik.

Tapi, ada satu hal yang membuat saya penasaran.

Mengapa di semua media sosial yang saya lihat, selalu muncul konten-konten yang berasal dari TikTok?

Hadirnya TikTok memang diawali oleh kontroversi.

Namun sekarang, “virus”-nya sudah menyebar hampir di semua media sosial.

Dalam dunia psikologi, fenomena ini disebut dengan bandwagon effect.

Fear Of Missing Out

Bandwagon effect – atau efek ikut-ikutan – adalah peristiwa yang terjadi karena keinginan masyarakat untuk menyesuaikan diri dan tidak ingin ketinggalan tren.

Ketakutan pengucilan sosial pun memainkan peran besar dalam efek ini.

Salah satu contoh dari bandwagon effect ini adalah TikTok.

Sejak 2019, TikTok menjadi salah satu media platform yang unggul di Indonesia.

Awalnya, TikTok dikecam sebagai aplikasi alay.

Namun, karena banyak artis yang menggunakan platform ini untuk “joget lucu-lucuan”, bandwagon effect ini pun terjadi.

Saya mau download TikTok, tapi gengsi. Eh, ternyata banyak orang lain yang memakainya. Saya ikutan deh!

Bahkan sampai tahun 2022, aplikasi ini sudah diunduh lebih dari 99,1 juta pengguna.

Tidak Mau Ketinggalan Tren

Bandwagon effect juga digunakan untuk menciptakan ilusi popularitas pada produk yang mungkin telah atau akan diperkenalkan ke pasar.

Ini seperti memberi makan pada emosi manusia: “Jika setiap orang memilikinya, saya juga menginginkannya”. 

Jika efek ikut-ikutan dijalankan secara efektif, “ilusi” ini akan menarik calon konsumen baru. 

Misalnya pada brand Scarlett Whitening, yang mengendorse banyak influencer mikro untuk memakai produknya.

Hasilnya, orang-orang akan merasa “Oh, ternyata banyak juga orang yang mempromosikan, sepertinya produknya bagus. Saya tidak mau ketinggalan.

Akhirnya mereka memutuskan untuk membeli, karena FOMO berperan besar dalam bandwagon effect.

Fenomena psikologis dari bandwagon effect ini juga dapat mempengaruhi pilihan pada genre musik.

Contohnya, lagu Joji berjudul Glimpse of Us yang banyak digunakan sebagai musik latar video pengguna TikTok.

Hal ini dimulai ketika orang-orang melihat komentar positif lagunya di media sosial.

Lagu tersebut memiliki melodi yang melankolis serta lirik yang dalam sehingga dapat mewakili kegalauan banyak orang.

Hingga saat ini, jumlah penggunaan audio Joji di TikTok sudah mencapai 932.4K.

Efek dari bandwagon bisa bermacam-macam. Selain penjualan, juga bisa menciptakan ikatan positif dari brand.

Misalnya, ketika Nike membuat campaignMake It Count” di tahun 2012.

Di campaign ini, Nike ingin menunjukkan bahwa ini saat yang tepat untuk Anda bangun dan bekerja keras, apapun olahraganya.

Jika semua atlet Nike melakukannya, tidakkah Anda ingin ikutan juga?

Hasilnya, Nike membangun ikatan positif pada audiensnya untuk berolahraga (tanpa meminta mereka untuk membeli produk!).

Namun, dengan adanya ikatan positif, maka akan ada implikasi ikatan negatif yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan bandwagon effect.

Misalnya, ada artis yang tidak percaya covid dan berkata, “Gue minum jamu herbal aja udah kuat kok imunnya, ga perlu vaksin”.

Alhasil, orang-orang yang tak percaya covid dan mempercayai artis tersebut akan ikut-ikutan membeli jamunya.

Dalam dunia sosialita saat ini, banyak orang yang kehilangan identitas karena dipengaruhi oleh pemikiran orang lain.

Efek bandwagon mengacu pada situasi di mana individu berperilaku sama dengan kelompok yang sefrekuensi dengan mereka.

Misalnya, orang-orang siap mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk membeli barang-barang fashion yang juga dipakai orang lain.

Mereka berlomba ingin menjadi yang terbaik di kelompoknya.

Saat ada orang yang membeli sesuatu yang baru dan memamerkan barang tersebut, maka orang lain akan segera pergi membelinya agar dapat dilihat dan diakui.

Namun, jika ada seseorang yang tidak mengikuti tren tersebut, maka akan terlihat kuno, aneh dan tidak keren.

Contohnya, tren celana cutbray pada tahun 60-70an. 

Hampir semua kalangan memakainya agar terlihat fashionable dan modis.

Tapi, jika ada beberapa individu yang tidak terkena “virus” cutbray, maka akan terkesan tidak gaul dan ketinggalan zaman.

Sama halnya dengan tren F&B pada restoran sandwich Subway yang baru buka di Indonesia.

Hal ini terjadi karena banyak food vlogger yang makan di Subway dan diikuti oleh reviews dari para followersnya.

Kesannya, bagi yang terlibat, mereka termasuk kelompok gaul dan bagi yang tidak terlibat, mereka terlihat sebagai kelompok cupu.

Hasil dari kepopuleran restoran ini disebabkan oleh efek ikut-ikutan yang telah terjadi.

Dari semua kasus yang sudah dijelaskan tadi bahwa masyarakat dapat dipengaruhi oleh kelompok mayoritas.

Peran bandwagon effect adalah salah satu hal terpenting agar tren tetap ada.

Dalam politik, efek ikut-ikutan dapat mengajak masyarakat memilih orang yang terlihat memiliki dukungan mayoritas karena kemungkinan besar akan memenangkan pemilihan.

Misalnya, saat Bill Clinton lebih unggul dalam perdebatan di beberapa pertemuan, suara masyarakat yang tadinya memilih Bush teralihkan ke Clinton.

Saat popularitas meningkat, orang-orang mungkin lebih cenderung mengadopsi keyakinan mayoritas sebagai tanda bahwa banyak yang mendukung gagasan tersebut.

Menerima pendapat mayoritas karena ingin berada di “pihak yang menang” menjadi bukti bahwa manusia secara naluri mendukung suara terbanyak.

Berdiri melawan arus dari mayoritas, bisa jadi dicap sebagai paling tidak beruntung dan berbahaya.

TIDAK SELALU PENTING

Beberapa orang memiliki kecenderungan untuk membeli sesuatu yang sedang tren kemudian diikuti orang lain.

Bukankah hal itu tidak sepenuhnya tepat?

Sebagian mereka membeli barang-barang tersebut walau tahu itu tidak berguna.

Jadi, sebelum pikiran Anda dipengaruhi oleh hype yang sedang terjadi, alangkah lebih baiknya tanyakan pada diri sendiri, apakah Anda membutuhkannya?

Jika sudah menyadarinya, Anda perlu berhenti belanja hal-hal yang tidak dibutuhkan dan mencoba mengalahkan keinginan tersebut. 


Bandwagon effect adalah sebuah fenomena yang berimbas kuat terhadap pikiran manusia.

Jika menerapkannya secara maksimal, efek ini bisa menjadi ramuan yang bisnis Anda butuhkan untuk berkembang ke level selanjutnya.

Bayangkanlah diri Anda sebagai seorang kusir delman.

Jika audiens bisa melihat bahwa delman Anda ramai oleh penumpang, tentu mereka pun akan penasaran dan ingin ikut naik.

Sekarang, cari cara agar laju bisnis, terus melaju ke arah yang Anda idamkan.

Meika Azrita
Hai! Saya Meika, seorang content marketer dan penulis blog Sribu. Saya menulis konten-konten edukasi seputar marketing, branding, tips desain dan masih banyak lagi. Pepatah favorite saya, "Kegagalan adalah bukti bahwa kamu sedang mencoba." Semangat! 😁