Awal Perjalanan Startup Kami, Sribu Mendapatkan 10.000 Klien

sribu

Pernahkah kalian ngobrol dengan CEO (Chief Executive Officer) di perusahaan kalian? Mungkin di banyak perusahaan, CEO adalah sosok yang ditakuti namun hal ini sedikit berbeda di Sribu, startup kami, tempat saya bekerja. Tim kami yang tidak besar dan struktur perusahaan yang lean memberikan kesempatan bagi tim kami dan CEO untuk dapat menjadi dekat dan berdiskusi bersama mengenai bagaimana kami dapat membuat Sribu menjadi ‘the next big thing’ di market.

Tidak hanya dalam soal kerjaan saja, namun kami pun makan bersama, ngopi bersama bahkan main Counter Strike bersama dengan Ryan, CEO Sribu yang sudah kami anggap sebagai teman dekat.

Tim dan CEO Sribu.com bermain Counter Strike

Selain itu, ada salah satu kebiasaan yang sangat saya sukai dari Sribu, yakni keterbukaannya. Culture ‘transparency’ yang dimiliki Sribu memungkinkan saya dan anggota tim Sribu lainnya untuk mengetahui performa perusahaan setiap bulannya ( sebelum mengharapkan keterbukaan konsumen pada perusahaan, keterbukaan harus dimulai dibangun dari perusahaan itu sendiri).

Presentasi yang dibawakan oleh Ryan, setiap bulan membuat kami tahu pencapaian bulan lalu dan target yang harus dikejar bulan ini. Values dan beliefs bahwa perusahaan kami suatu hari akan menjadi perusahaan internet top di Indonesia selalu disampaikan dan dijadikan sebagai penyemangat saya dan teman-teman dalam tim Sribu. Sistem seperti ini membuat saya pribadi merasa nyaman bekerja  karena minim boundary dan hierarchy (membangun sistem bekerja tanpa ada batas dan tingkatan menjadikan tim semakin terbuka dan berkembang).

Ada berbagai cara untuk  mewujudkan misi Sribu untuk menjadi perusahaan internet top di Indonesia. Salah satunya adalah dengan mendapatkan 10.000 klien dalam jangka waktu 5 tahun. Dengan target-target seperti itu, Ryan terus berusaha menyamakan langkah dan tujuan melalui weekly meeting. Banyak hal yang dilakukan dalam weekly meeting tersebut, seperti review target, mencari solusi dan juga menetapkan langkah berikutnya untuk kemajuan Sribu. Kebetulan, pada weekly meeting minggu lalu, saya iseng bertanya mengenai cerita dimulainya Sribu dan seberapa beratnya membangun perusahaan ini. Saya dikejutkan oleh pernyataan pertamanya:

“Saya nekat saja melepaskan pekerjaan tetap saya dan fokus membesarkan Sribu. Banyak orang bilang saya gila. Waktu itu terus terang saya juga bingung mulainya dari mana dan apa yang akan terjadi 6 bulan atau 1 tahun dari sekarang. Yang mendorong saya waktu itu adalah keinginan untuk mencoba saja.”
Saya dan teman-teman kira CEO kami sedang bercanda. Bagaimana mungkin seseorang memulai bisnis tanpa perencanaan dahulu? Tetapi begitulah faktanya. Dia begitu yakin bahwa Sribu.com akan menjadi bisnis yang besar.

“It was a scary moment. Mungkin kalian belum tahu, 1 tahun pertama dalam membangun usaha bagi pemula adalah momen yang paling mengerikan secara fisik dan mental. Saya terus dihantui oleh berbagai pertanyaan dalam hati, dari teman dan keluarga saya. Mau berapa lama baru sukses, emang kamu yakin produk kamu ada yang pakai dan yang paling kritis adalah, apakah ini keputusan yang benar? Karena waktu adalah sesuatu yang tidak dapat dibeli kembali.”

“Dan sekarang? Bagaimana rasanya? Apakah ada penyesalan mendirikan Sribu?”

“Tidak sama sekali. Saya banyak belajar dari pengalaman yang luar biasa ini. Saya juga merasa beruntung bisa melewati masa 3 tahun ini membangun Sribu dan sampai ke tahap sekarang ini. Jika tidak resign, saya tidak akan menjadi Ryan seperti yang kalian temui saat ini.”

Kantor Pertama!

Inilah kantor pertama Sribu!

Flashback kembali, di awal tahun 2011 Ryan dan partnernya pada saat itu masih bekerja di perusahaan sebagai profesional. Pengembangan Sribu dimulai pada April 2011, dibekali dengan zero pengalaman di dunia startup dan internet. Pada saat itu goal yang mereka miliki hanya untuk membuat sesuatu dari ide menjadi kenyataan. Ide Sribu sendiri datang dari beberapa website di Amerika yang sejenis menganut konsep crowdsourcing ini. Setelah pengembangan Sribu selama 4 bulan, Ryan memutuskan untuk resign dari perusahaan lamanya dan fokus di Sribu.

“Saat sudah terjun untuk fokus di Sribu, segalanya benar-benar baru untuk saya. Ibaratnya seperti masuk ke satu ruangan dimana kamu tidak kenal siapapun dan tidak mengerti satupun kata yang diucapkan orang-orang yang ada di ruangan tersebut. Yang bisa kamu lakukan hanya berasumsi, memperhatikan dan nekat mengambil keputusan.”
“Setelah resign dari perusahaan lama, saya mulai bekerja di kantor daerah dekat rumah saya di Gandaria. Teman ayah saya berbaik hati untuk meminjamkan ruangan kerja berukuran 4m x5m. Saya sangat ‘excited’ karena ini pertama kalinya memiliki kantor sendiri. Saat itu saya hanya sendirian selama sebulan. Pada saat saat itu partner saya memutuskan untuk tetap bekerja sehingga saya sendiri yang mengurus Sribu”.

“Saya beruntung karena memiliki Wenes, saudara sekaligus programmer yang membantu saya pada saat itu membuatkan Sribu. Wenes saat itu tinggal di Surabaya dan semua diskusi kami mengenai Sribu dilakukan melalui skype. Meskipun tidak mudah, kami berhasil melakukan aksi virtual office ini selama hampir 2.5 tahun. Wenes dan tim-nya akhirnya pindah ke Jakarta di pertengahan tahun 2014 menjadi co-founder sekaligus CTO Sribu”.

Wenes Kusnadi dan Ryan Gondokusumo di tahun 2011

Transition Shock

“Kadang banyak orang yang beranggapan bahwa memiliki sebuah bisnis dan menjadi bos itu adalah sesuatu yang enak. Salah Besar! Awal memulai Sribu, saya menggunakan modal sendiri sekitar 50 juta rupiah. Kemudian saya me-rekrut karyawan pertama saya untuk menjadi sales/customer service/social media person. Intinya kerjaannya cukup banyak dan merangkap beberapa bagian. Karena saat itu usaha masih kecil, saya yakin masih bisa diurus oleh satu orang saja. Yang saya rasakan waktu itu adalah:

  1. Tidak mendapatkan pemasukan apa pun karena sebagai founder dengan modal sendiri, tentunya kami tidak ambil gaji.
  2. Harus membayar gaji karyawan saya setiap bulannya dari modal yang disiapkan.
  3. Bekerja jauh lebih keras daripada ketika masih menjadi profesional.
  4. Sering kali karyawan yang kami rekrut, tidak sesuai harapan. Kami harus mengajarinya lagi agar sepaham.
  5. Tidak ada yang peduli akan usaha yang dijalankan kecuali founder sendiri.

Perubahan dari profesional menjadi entrepreneur yang mendirikan sebuah startup benar-benar membuka mata saya. Saya menjadi lebih berhemat dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saat weekend karena tidak ada pemasukan. Perubahan hidup yang saya alami saat ini, sangat terasa.

Sribu V1

Ryan terus bercerita dengan semangat, sedangkan saya dan teman-teman tetap duduk mendengarkan dengan serius. Dia melanjutkan kisah Sribu pada awal pembuatannya…

“Karena pada saat itu Sribu tidak memiliki desainer, maka saya berbagi tugas dengan Wenes. Untuk perihal desain, saya yang tangani dan Wenes mengurus bagian teknikal dan programming-nya. Saya sendiri tidak memiliki background desain, bahkan pendidikan yang saya tempuh jauh dari desain, yaitu teknik elektro. Wenes pernah membantu klien dalam membuat website, namun hanya sebatas website company profile. Jadi kami berdua sama sekali tidak memiliki pengalaman bagaimana cara membuat sebuah produk.

Homepage Sribu.com yang pertama

Banyak waktu yang dihabiskan untuk bolak-balik mengubah homepage Sribu, padahal yang penting bukan hanya homepage saja, namun juga ‘minimum viable product’ atau yang disebut dengan MVP (membuat produknya lebih simple dan mudah digunakan). Dengan produk yang minimal, harus di buktikan bahwa bisnis modelnya berjalan. Itu yang terpenting. Namun karena kurang pengalaman dan ketidaktahuan, akhirnya kami malah sibuk untuk hal-hal yang tidak penting seperti mempercantik desain, menambahkan fitur yang tidak perlu pada produk, dan juga membuat brosur untuk offline sales.Setelah hampir 8 bulan membuat Sribu dengan segala limitasi, akhirnya, Sribu versi 1 diluncurkan di Agustus 2011.

Ryan mengakhiri sharing-nya, sedangkan saya dan teman-teman masih membayangkan bagaimana website sekompleks Sribu dikerjakan oleh 2 orang saja. Namun pastinya hal tersebut sekarang menjadi kenyataan bagi Ryan dan Wenes.

Saya pribadi jadi merasa lega juga karena semua masa berat tersebut sudah Ryan lewati. Namun Ryan malah berpendapat berbeda dan menjelaskan kepada kami bahwa tantangan yang sebenarnya baru dimulai. Ketika sudah memiliki sebuah produk, kita harus dapat melakukan improvement atau peningkatan ke produk tersebut agar dapat diterima oleh masyarakat dan yang terpenting memecahkan masalah. Ketika produk Anda dipakai oleh 10 orang, tantangan selanjutnya adalah bagaimana agar dipakai oleh 1.000 orang, dan selanjutnya 1.000.000 orang. Setiap langkah ini menjadi milestone agar perusahaan dapat berkembang ke level selanjutnya dan untuk itu salah satu yang paling penting untuk dimiliki adalah culture company.

“It’s not the end. It’s the beginning.”
Tim Sribu.com 2014

Tim Sribu.com 2014 – Fast & Growing